The Prophetic Model of Education in College

This study is about the prophetic model of education in college. As a strategy in learning system, method, and in terms of the concept of learning in educational institutions devoted in Higher Education. The study was conducted at two different campuses, in Sidoarjo and Surabaya. This research uses research and development or R & D,especially in the field of education. Results of preliminary observations still found some educational practices are not in accordance with the prophetic value, so the need for education of the prophetic. Prophetic educational development in Higher Education through the seven stages of development as well as the sequence of steps Borg & Gall, the results can be seen that the prophetic education at university can function properly. The results of this study useful to develop and enrich the theory on prophetic education in universities.

Featured post

SENENGE ATI lan PADANGE ATI

Pembaca yang terpuji, menurut hemat penulis pada dasarnya motivasi orang hidup selalu berkisar antara dua hal, yakni Senenge Ati lan Padange Ati (kesenangan hati  dan kebeningan / ketenangan hati). Yang mana dua hal tersebut hanya ada pada kekuasaan dzat yang agung Allah SWT dan hanya melalui rel atau jalur agamalah dua hal tersebut bisa diraih. Coba perhatikan; Manusia beraktivitas dari mulai pagi hingga petang bahkan sampai pagi lagi, dari kalangan berdasi dengan ruangan full Ac sampai kalangan jelata, kadang di tengah sawah yang berpenerangan alami terik matahari, baik dengan cara halal maupun haram, intinya adalah berikhtiyar untuk memenuhi kebutuhan. Dengan terpenuhinya kebutuhan maka secara tidak langsung kesenangan hati akan terpenuhi pula. Akan tetapi tidak semua orang yang telah mendapatkan kesenangan hati lantas kejernihan hati dapat ia gapai, dengan kata lain sedikit orang yang bisa mensyukuri bahwa semua usaha dan hasil dari aktivitas kita, tidak lain dan tidak bukan hanya atas kehendak yang Kuasa. Jika hal ini tidak ada pada jiwa (baca: hati) seseorang maka sampai matipun ia tak akan bisa mendapatkan kepuasan, walau dunia sudah ada dalam genggamannya.

Dua motivasi tersebut bisa disebut sebagai kebutuhan dhahir dan batin, yang mana harus selalu berjalan seimbang, ibarat beratnya muatan harus sepadan dengan kadar kekuatan perahu, jika tidak perhatikan niscaya cepat atau lambat perahu akan tenggelam. Pada akhirnya keseimbangan dunia dan akhiratlah yang menjadi intinya.

Pembaca yang baik hati, berbicara masalah “kebutuhan ada juga istilah lain yang hampir semakna, tetapi berbeda effeknya (baca: dampak atau pengaruh), istilah itu adalah “keperluan”. Mari kita telaah, yang pertama kebutuhan, cenderung akan mengarah kepada target-target tertentu, kadang sesuatu yang masih di luar batas kemampuan saat ini sudah dianggarkan. Jika keadaannya seperti ini maka dengan berbagai macam resiko jiwa dan raga harus diforsir (baca: dipaksa) untuk sebisa mungkin dapat memenuhi target tersebut. Dan fatalnya kadang jika target itu tidak bisa dicapai atau gagal maka putus asalah akibatnya. Padahal putus asa adalah sesuatu yang dilarang dalam agama.[1]

Sehingga nyatalah kebutuhan cenderung akan selalu disetir (baca: dikuasai atau diatur) oleh nafsu, dan ketahuilah nafsu (yang jelek) akan terus mengarah pada kerusakan.[2]

Yang kedua adalah keperluan, sebagaimana yang lazim didengar, ada ungkapan “seperlunya saja “. Berangkat dari sini keperluan bisa mengandung makna pemenuhan suatu keinginan dalam kadar sewajarnya, yang tidak muluk-muluk, pemenuhan dalam kadar kemampuannya. Sehingga tidak banyak memunculkan resiko-resiko yang membebani. Menurut hemat penulis sikap seperti inilah yang cenderung mudah mengarahkan kita kepada rasa syukur, sebagai syukurnya diri atas anugerah Allah, maka pantaslah jika Allah akan menambah dengan bonus-bonus lain (baca: kenikmatan).[3] Bukankah hal ini sangat berbeda dengan poin yang pertama?

Lantas apakah kita tidak diperbolehkan memiliki cita-cita, angan-angan, harapan? Tentu saja boleh, bahkan agama sendiri menganjurkan untuk itu, cuman yang perlu ditekankan adalah di saat kita menentukan cita-cita tersebut kita harus mendasarinya dengan niatan yang suci lagi bersih, yaitu semata karena Allah,[4]bukan semata atas dorongan nafsu karena dengan niat yang baik karena Allahlah yang bisa selalu menuntun kita pada kehidupan yang bernuansa syukur. Sehingga walau targetnya masuk dalam katagori kebutuhan , tetapi dalam prosesnya bisa dilalui dengan kadar keperluan.

[1] QS. Yusuf: 87

Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir“.

[2] QS. Yusuf: 53

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

[3]  QS. Ibrahim: 7

[4] Baca Yahya Bin Syarifuddin An Nawawi, Syarah Arba’in Nawawi (Surabaya: Al Hidayah, t.t), h. 5 …… hadis I, إنماالاعمال بالنيات  (innamal a’maalu binniyyaat……)

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑